Prof.Dr. Jeffrey Lang – Pergulatan Batin Profesor Matematika
Bismillah …
Mungkin di antara kita pernah dihinggapi berbagai pertanyaan yang muncul dalam lintasan hati, seperti ini:
- Jika Tuhan itu ada dan Dia punya belas kasih dan sayang, mengapa ada begitu banyak penderitaan yang menimpa umat manusia, seperti kelaparan, pertumpahan darah, dan peperangan?
- Bukankah dengan kuasa-Nya, Tuhan bisa membuat dunia ini aman dan tentram tanpa kita harus menderita di dalamnya?
- Mengapa banyak orang baik tapi hidupnya menderita / serba kesusahan; sebaliknya banyak orang jahat yang hidupnya makmur sejahtera?
- Jika Tuhan Maha Pengasih, mengapa Dia membuat kehidupan ini begitu rumit?
- Jika Tuhan menguasai hati, mengapa Dia tidak bikin saja semua manusia punya sifat baik, agar kelak semuanya dimasukkan ke dalam surga?
- Lantas dimana kasih Tuhan sesungguhnya kalau benar Dia ada?
Pertanyaan-pertanyaan rasional di atas jika tidak dijawab dengan tepat bisa menimbulkan kegoncangan iman. Pertanyaan skeptis seperti itu sering menyebabkan seseorang menjadi atheis karena tak menemukan jawabannya. Hal yang demikian juga dialami oleh Prof.Dr. Jeffrey Lang, yang selama bertahun-tahun mengalami pergolakan batin atas pertanyaan tersebut. Dan Alhamdulillah.. akhirnya ia menemukan jawabannya. Jawaban tersebut kemudian ia jabarkan dalam buku-buku karyanya.
Prof.Dr. Jeffrey Lang adalah seorang guru besar di bidang matematika yang mengajar dan sebagai peneliti di University of Kansas, Lawrence, Amerika Serikat. Gelar master dan doktor matematika diraihnya dari Purdue University pada tahun 1981.
Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga penganut paham Katolik Roma di Bridgeport, Connecticut, pada 30 Januari 1954. Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di sekolah berlatar Katolik Roma. Sejak kecil ia dikenal punya keingin-tahuan yang tinggi tentang nilai-nilai kehidupan, baik secara politik, sosial, maupun keagamaan. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. Sejak kecil hingga masa remajanya, banyak pertanyaan tak terjawab dalam dirinya, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam pembuka jurnal ini. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika dan rasionalitas.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katolik, ia memiliki keberatan rasional terhadap keyakinannya akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan para pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia pun akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, ia mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami (dalam mimpi Jeffrey Lang bersama orang lain yang tak ia kenal) berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu. Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu. Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mendapat mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, sehingga ia tak peduli kendati mimpi itu terus berulang.
Sepuluh tahun kemudian sejak mimpi aneh pertama kalinya, ia memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu seorang mahasiswa Muslim yang mengikuti kelasnya, Mahmoud Qandeel, berasal dari Arab Saudi. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat ia menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Menariknya, semua diskusi mereka tentang sains dan teknologi. Salah satu yang pernah didiskusikan adalah tentang riset kedokteran. Lang dibuat terpana oleh jawaban Qandeel, yang di negaranya adalah seorang mayor polisi.
Ketika pihak kampus mengadakan acara perpisahan, Qandeel menghadiahi Lang sebuah Al-Qur’an dan beberapa buku mengenai Islam.
Atas inisiatifnya sendiri, Lang pun mempelajari isi Al-Qur’an. Bahkan, kitab agama Islam tersebut dibacanya hingga tuntas. Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik.
Seperti apa pergulatannya itu?
Jeffrey Lang mengaku kagum dengan Al-Qur’an. Dua juz pertama yang dipelajarinya telah membuatnya takjub dan bagai terhipnotis. Kemudian dia melanjutkan membaca ayat demi ayat, ia semakin merasa tergetar dan takjub, karena seakan-akan tiap ayat yang ia baca ditujukan langsung untuk dirinya secara personal. Dia pun bertanya heran, “Apakah Al-Qur’an ini sedang berbicara kepadaku?” Setiap dia membaca beberapa ayat maka mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dari akalnya, setelah dia melanjutkan membaca ayat demi ayat lagi maka dia temukan jawabannya, seakan dia sedang bergelut dengan kitab yang sedang dibacanya dan ternyata Al-Qur’an menarik dirinya masuk lebih dalam lagi, memikirkan dan merenungkannya siang dan malam.
Begitulah, setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapatkan jawaban pada bacaan berikutnya, seiring dengan ia membaca halaman demi halaman Al-Qur’an secara berurutan.
“Ia (Al-Qur’an) ‘menyerang’ Anda secara personal. Ia (Al-Qur’an) akan mendebat, akan mengkritik, dan membuat (Anda) malu, dan menantang Anda. Sejak awal ia (Al-Qur’an) menorehkan garis perang, dan saya berada di fihak yang berseberangan.”
Sebagai seorang pakar dalam bidang matematika dan dikenal sebagai seorang peneliti, penjelasan yang didapat dari Al-Qur’an tidak langsung ia percayai begitu saja. Ia meneliti dan menelaah ayat-ayat secara lebih mendalam. Ada banyak ayat yang membuatnya kagum. Ia pun membandingkan konsepnya dengan ajaran lamanya. Contoh, surat Al-Baqarah ayat 30-39 tentang penciptaan Adam. [Dikupas detail dalam bukunya yang berjudul: Losing My Religion: A Call for Help].
“Anda tak bisa dengan hanya membaca Al-Qur’an, apalagi jika tidak menganggap ini sesuatu hal yang serius. Yang harus Anda lakukan adalah: apakah Anda menyerah kepada Al-Qur’an, atau Anda ‘menantang’, Al-Qur’an,” ungkap Lang.
Bagaimana hasil akhir dari pergulatan panjangnya?
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Saya menyadari ternyata Sang Penulis (Al-Qur’an) mengetahui diri saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri. Ia mampu membaca pikiran saya,” kata Lang.
“Al-Qur’an berada jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus segala kegundahan yang telah saya rasakan selama bertahun-tahun dan menjawab semua pertanyaan saya. Pertanyaan yang selama ini tak kunjung terjawab hingga saya frustasi dan menjadi atheis,” kata Lang.
Memang awalnya Lang yakin telah memiliki argumen yang mapan sebagai landasan atheisme-nya. Namun kemudian argumennya seakan runtuh satu persatu ketika ia membaca Al-Qur’an. Semakin ia berusaha melawan keras dengan keberatan dan pertanyaan, Al-Qur’an seakan-akan semakin mengajaknya bicara lebih jauh. Meruntuhkan satu persatu bangunan argumen dalam kepalanya. Ia akhirnya kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Ketika itu awal 1980-an, dan belum banyak Muslim di University of San Fransisco, tempat ia mengajar. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement, tempat di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi tempat itu, ia menguatkan dirinya untuk mengucap syahadat untuk memasuki pintu Islam. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah untuk yang pertama kali. Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya begitu tenang dan hening ia rasakan, bagaikan semua suara di alam ini telah dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat itulah saya melihat ke depan, dan saya melihat Ghassan, berada didepan sisi kiri saya (imam), di tengah-tengah shaf jama’ah, tepat di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain berwarna merah.”
“Mimpi itu!”, teriak saya dalam hati. [Bandingkan dengan gambaran mimpi pada paragraf sebelumnya yang berwarna ungu]
“Mimpi itu!, persis sekali! … saya mencoba untuk melupakannya, tapi kini saya tertegun dan takut. Apakah ini juga hanya mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus untuk memastikan apakah saya sedang tertidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. “Ya Tuhan, ini bukan mimpi, ini nyata!” Batinnya. Lalu rasa dingin itu hilang, berganti dengan rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
“Mimpi itu!, persis sekali! … saya mencoba untuk melupakannya, tapi kini saya tertegun dan takut. Apakah ini juga hanya mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus untuk memastikan apakah saya sedang tertidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. “Ya Tuhan, ini bukan mimpi, ini nyata!” Batinnya. Lalu rasa dingin itu hilang, berganti dengan rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Teringat ucapan ayahnya sepuluh tahun silam (“Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!”) terjadi sudah. Ia kini berlutut, tertunduk dengan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah sujud penyerahan total kepada Tuhan, yang selama ini ia cari, yaitu AllahSubhanahu Wa Ta’ala.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan memberi kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujarnya.
Yuk simak video singkat tentang pergulatannya.
MENJAWAB BERBAGAI KERAGUAN DENGAN MENULIS BUKU
Setelah menjadi seorang muslim, ia bisa merasakan adanya berbagai problematika yang muncul di kalangan umat Islam di Amerika Serikat terutama yang dialami umat Islam generasi kedua dan para mualaf. Mereka mengalami pergolakan dan kegelisahan akibat adanya perbedaan budaya yang sangat menonjol antara kehidupan mereka dengan komunitas masjid di Amerika yang sangat konservatif. Atas dasar itu, Jeffrey Lang berinisiatif menulis buku untuk menjawab berbagai kegelisahan dan pertanyaan-pertannyaan fundamental sekitar pengetahuan keagamaan dengan pendekatan logis dan analitis.
Karya-karyanya yang telah dihasilkan antara lain:
- Struggling to Surrender (Beltsville, 1994)
- Even Angels Ask (Beltsville, 1997)
- Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Dalam versi Indonesia diterbitkan dalam dua buku berjudul “Aku Beriman Maka Aku Bertanya” dan “Aku Menggugat Maka Aku Kian Beriman”.
Latar belakangnya sebagai orang Amerika asli sekaligus pakar Matematika membantunya dalam mengurai berbagai permasalahan rumit yang sering mengoyak iman. Ia memaparkan dengan cara yang logis hingga dapat mengobati berbagai kegelisahan para mualaf dan generasi kedua seputar Islam. Ia menjelaskan dengan komprehensif pertanyaan-pertannyaan mereka seperti perihal autentisitas Al–Qur’an, sifat–sifat Allah, konsep iman dan akal dalam Islam, makna penderitaan manusia dan keadilan Allah, kenabian Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernikahan beliau, autentisitas hadist, pemindahan kiblat dari Yerussalem ke Mekkah, peran perempuan dalam Islam, amal saleh dan spiritualitas, dan berbagai permasalahan kontemporer.
Tulisan dalam buku-bukunya seperti menyadarkan umat Islam tentang pentingnya mengkaji ilmu dan konsep–konsep keislaman secara rasional. Tidak hanya dengan memaksakan doktrin keagamaan semata apalagi melarang untuk mempertanyakannya. Ini mengingat umat Islam -mau tidak mau- akan berhadapan dengan budaya yang berbeda-beda dalam kehidupan. Justru -menurutnya- untuk menggapai iman sejati kita harus membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa keyakinan-keyakinan kita secara rasional. Ia mempercayai bahwa mempertanyakan secara rasional tradisi Islam yang telah mapan sama sekali tidak akan merongrong iman (menggerogoti Islam) tapi justru menguatkan fakta bahwa Islam benar–benar berasal dari Tuhan Semesta Alam.
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” [QS.Al-Baqarah (2) :2]
Demikianlah kisah inspiratif tentang seseorang yang mendapatkan hidayah dan menemukan kedamaian hidup di dalam Islam, semoga dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita, agar kita selalu bersyukur atas nikmat iman dan Islam yang telah diberikan. Wallahu a’lam bishawab
Demikianlah kisah inspiratif tentang seseorang yang mendapatkan hidayah dan menemukan kedamaian hidup di dalam Islam, semoga dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita, agar kita selalu bersyukur atas nikmat iman dan Islam yang telah diberikan. Wallahu a’lam bishawab
sumber : Bang Iwan Yuliyanto
Comments
Post a Comment