Tradisi Cari Jodoh Gredoan Banyuwangi
Geredoan adalah tradisi yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Geredoan berasal dari kata Gredo yang artinya menggoda. Sebab, yang menggoda dalam tradisi ini adalah si pria, bukan si gadis. Tradisi ini merupakan salah satu rangkaian dari beberapa acara yang dilaksanakan masyarakat Using. Acara ini dimulai malam hari sebelum Muludan Gedi dilaksanakan, yaitu sehabis Maghrib sampai pukul 00.00 WIB. Karena begitu terkenalnya tradisi ini, seolah olah menempatkan Geredoan sebagai tradisi yang terpisah dari Muludan Gedi. Dan pemuda-pemuda Banyuwangi pun sangat senang bila tradisi ini diadakan.
Tradisi ini dimulai saat warga Kecamatan Kabat mengundang banyak gadis dari desa lain. Mereka di undang untuk membantu memasak atau mempersiapkan untuk acara Muludan Gedi besoknya. Ketika mereka memasak, si pemuda mulai mengintip si gadis yang berada di dapur dari celah gedhek ( anyaman bambu ). Tanpa di undang pun, si pemuda berbondong-bondong untuk datang. Mereka yang boleh mengikuti tradisi ini adalah pemuda yang belum pernah menikah atau yang sudah menikah namun sudah bercerai ( duda atau janda ). Setelah mereka mendapatkan gadis yang diinginkan, si pemuda mulai menggeredo dan mengajak si gadis untuk mengobrol di teras rumah. Biasanya si pemuda menggeredo si gadis dengan pantun yang menggunakan bahasa Using. Lalu, jika dirasa sudah memiliki kecocokan, mereka bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih dalam dengan cara menemui keluarga si gadis.
Jika dari satu rumah si pemuda tidak mendapatkan gadis yang diinginkan, meraka boleh pindah ke rumah yang lain untuk mendapatkan gadis sesuai keinginan mereka. Jadi mereka bebas untuk mampir dari rumah warga yang satu ke rumah warga yang lainnya. Sebab itulah, pemuda-pemuda Banyuwangi, khususnya pemuda Kecamatan Kabat sangat antusias jika tradisi ini dilaksanakan. Karena begitu banyaknya, kisah yang mempertemukan jodoh bagi mereka, maka tradisi ini dijadikan sebagai ajang untuk mencari jodoh. Geredoan sangat menarik untuk diikuti semua pemuda yang belum mendapatkan jodoh, sehingga pemuda-pemuda dari desa lain atau dari kota lain di seluruh Indonesia bisa datang ke Kecamatan Kabat untuk mengikuti tradisi ini. Seiring dengan adanya event “ Banyuwangi Digital Society.
Tradisi Kabuenga Wakatobi
Kabuenga sudah ada sejak dahulu kala, konon sejak masa keemasan Kerajaan Buton. Tradisi ini bermula ketika kaum para pemuda maupun gadis setempat jarang mempunyai kesempatan bersua. “Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis,” tutur Muktiani, seorang ibu beranak tiga warga Desa Mandaki Tiga, Kecamatan Wangiwangi Selatan. Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Kabuenga.
Saat tradisi ini dimulai para muda-mudi akan dikumpulkan dalam sebuah lapangan. Perempuan di sana akan Perempuan di sana kemudian akan berjualan makanan dan minuman dengan memakai sanggul dan pakaian wolio di malam itu sebagai identitasnya. Uniknya, sanggul yang dipakai para gadis akan berbentuk bundar sedangkan untuk wanita beristri harus memakai sanggul berkuncir lancip ke belakang.
Perbedaan bentuk sanggul ini akan mempermudah para pria untuk mendekati sang pujaan hati. Para pria ini akan mencari gadis yang mereka sukai. Dan jika mereka tertarik dengan seseorang gadis, mereka bisa memberli makanan atau minuman dari gadis itu. Dari sana proses perkenalan akan terjadi dan diharapkan hubungan mereka bisa berlanjut ke pelaminan.
Tradisi Omed-Omedan Ciuman Masal Bali
Tradisi ini punya sejarah dan sudah dilakukan sejak di masa penjajahan Belanda. Jaman sekarang, ritual ini dijadikan salah satu cara unik mencari jodoh oleh muda mudi atau Sekaha Teruna Teruni. Tapi, bagi wanita yang datang bulan tidak diperbolehkan ikut acara tersebut agar menjaga kesucian ritual.
Setelah sebuah ritual sembahyang, para pemuda dan pemudi akan mengarak salah satu anggotanya. Kemudian kedua muda mudi ini berpelukan sambil berciuman di muka umum. Dua insan ini akan dipisahkan setelah diguyur dengan air. Setelah itu, Sekaha Teruna Teruni tadi akan terbagi dalam 2 kelompok pria dan wanita. Panitia acara akan meniup sempritan dan setiap kelompok akan mendorong seorang wakilnya untuk menjadi yang pertama berciuman sambil berpelukan. Kadang karena perwakilannya tidak saling suka, mereka akan saling menghindar untuk berciuman meski sudah didorong untuk melakukannya.
Tradisi Tarian Emaida Yibu Papua
Tarian adat suku Mee di Papua yang dalam bahasa daerah disebut “emaida Yibu” memiliki arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat suku Mee. Emaida terdiri dari dua kata, yakni Ema dan Da. Ema artinya rumah adat yang dikhususkan untuk kaum pria yang bersifat permanen, namun ema yang bisa melakukan tarian adat ini bisa manampung semua, baik pria, wanita, tuah dan muda , sedangkan Da artinya didalam dan yibu artinya melakukan goyang atau tarian. Dengan demikian, emaida yibu artinya melakukan tarian didalam rumah adat.
Tradisi ini sering dilakukan oleh Suku Mee di Papua. Orang Suku Mee membangun rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Nanti saat mereka menari di dalamnya, rumah itu akan ikut bergoyang-goyang. Nah dalam sesi tari menari itulah para pria dan wanita Suku Mee saling menarik perhatian lawan jenisnya. Tarian unik ini disebut Emaida Yibu, artinya menari di dalam rumah adat. Momen ini sering dimanfaatkan para ‘kawula muda’nya Suku Mee untuk bisa mendapatkan pasangan
Comments
Post a Comment