“Ibuk, kapan pakai jilbabnya?”
“Iya nanti ya pas ibu potong rambut biar gak gerah.”
“Ibu ini..” anak gadisku pun berlalu dengan muka cemberutnya.
“Iya nanti ya pas ibu potong rambut biar gak gerah.”
“Ibu ini..” anak gadisku pun berlalu dengan muka cemberutnya.
Dilain hari sepulang anakku mengaji, ia pun bertanya., “Buk, pakai jilbab ya bu. Pak ustad bilang perempuan wajib berjilbab. Kan ibuk udah potong rambut?”
“Ia nak, nanti ya kalau udah siap ibuk pake.”
“Ia nak, nanti ya kalau udah siap ibuk pake.”
Dilain hari menjelang tidur, anakku itu bertanya lagi. “Buk, kata pak ustad kebanyakan penghuni neraka itu isinya perempuan. Tau gak buk, salah satu penyebabnya itu karena kebanyakan perempuan gak mau menutup auratnya.” Panjang lebar anakku itu menjelaskan sementara aku diam tak bergeming.
“Ayo buk, pake jilbab! Lebih cantik lho ibuk pake jilbab?”
Aku menoleh memperhatikannya. Begitu semangat ia memotivasiku yang sampai kini enggan memakai hijab.
“Ia insya Allah, doain ibuk ya nak.” Jawabku sembari memejamkan mata.
Aku menoleh memperhatikannya. Begitu semangat ia memotivasiku yang sampai kini enggan memakai hijab.
“Ia insya Allah, doain ibuk ya nak.” Jawabku sembari memejamkan mata.
Di minggu siang aku pergi ke rumah ibuku yang jaraknya hanya berselang lima rumah dari rumahku. Aku melihat anak gadisku tengah duduk santai disamping tantenya yang tengah fokus pada laptopnya. Aku mencuri dengar perbincangan mereka.
“Lek, dimana beli jilbab ini?”
“Kenapa? Jenny mau pake jilbab?”
“Ia. Jenny mau belajar pake, lek. Kata pak ustad perempuan wajib pake jilbab.”
“Yes. Betul.”
“Ibuk lho katanya janji mau pake jilbab. Bentar bentar melulu jawabnya.”
“Iya kah?”
“Lek, dimana beli jilbab ini?”
“Kenapa? Jenny mau pake jilbab?”
“Ia. Jenny mau belajar pake, lek. Kata pak ustad perempuan wajib pake jilbab.”
“Yes. Betul.”
“Ibuk lho katanya janji mau pake jilbab. Bentar bentar melulu jawabnya.”
“Iya kah?”
Aku pun pergi berlalu sembari memikirkan kata-kata anakku.
Permulaan april 2015..
Di hari jumat malam, anakku tiba – tiba demam tinggi. Langsung saja aku dan suamiku membawanya ke dokter. Dan disana dokter memberikan suntikan juga obat.
Di hari jumat malam, anakku tiba – tiba demam tinggi. Langsung saja aku dan suamiku membawanya ke dokter. Dan disana dokter memberikan suntikan juga obat.
Esok paginya aku periksa demamnya tak kunjung turun. Aku menyuruhnya minum obat namun ia enggan. Ia membuang makanan dan juga obat yang telah kusiapkan. Akhirnya aku pasrah. Ia pun bangkit dari tempat tidur dan pergi ke kamar kecil.
“Gubrak !!!” Terdengar suara dari kamar mandi. Aku bergegas melihat anakku. Disana aku kaget ketika kulihat ia terjatuh, matanya menatap keatas, tubuhnya kejang – kejang.
“Bapaaaak, cepat tolong sini!”
Suami kaget lantas bergegas menggendong anakku. “Kenapa dia?”
Aku hanya menggeleng dan menangis sejadi – jadinya. “Nak, kenapa nak?”
“Gubrak !!!” Terdengar suara dari kamar mandi. Aku bergegas melihat anakku. Disana aku kaget ketika kulihat ia terjatuh, matanya menatap keatas, tubuhnya kejang – kejang.
“Bapaaaak, cepat tolong sini!”
Suami kaget lantas bergegas menggendong anakku. “Kenapa dia?”
Aku hanya menggeleng dan menangis sejadi – jadinya. “Nak, kenapa nak?”
Tiba di rumah sakit lantas anakku dibawa ke ruang UGD. Aku pun ikut masuk menemani. “Nak, bangun nak!!” Hanya itu yang bisa kukatakan.
Tiga jam kemudian tak kunjung tanda – tanda kesadaran anakku. Aku tetap diam disampingnya. Kulihat silih berganti ibuku, adikku, bibi dan pamanku datang ke ruang UGD. Aku lantunkan doa berharap anakku cepat sadar.
“Jen, bangun nak! Ibuk gak akan marahi Jenny lagi kok.” Rengek tangisanku dihadapannya.
“Jen, bangun nak! Ibuk gak akan marahi Jenny lagi kok.” Rengek tangisanku dihadapannya.
Kulihat anakku tak kunjung bereaksi. Dokter yang menangani berusaha memasukan selang yang entah apa namanya ke mulut anakku. Perih hati ini terasa hingga tetes airmata yang makin mengalir deras ke pipi tak terasa. Kupegangi kakinya begitu dingin. Ibu menyuruhku memberi minyak kayu putih. Namun, dingin kakinya tak kunjung menghilang.
“Bu, maaf. Anak ibu belum bisa kami selamatkan.” Kalimat dokter itu bak menghujam jantungku.
“Pak, badannya masih hangat pak!” Ibuku tak mau menyerah meyakinkan dokter.
“Maafkan kami bu.”
Beberapa perawat disana mencabuti semua peralatan yang melekat pada tubuh anakku. Tidak ada harapan lagi. Aku memeluk tubuhnya dan kupandangi wajahnya untuk terakhir kalinya. Sejenak kulihat air mata mengalir dari sudut matanya.
“Selamat jalan nak!” Batinku berusaha tegar.
“Pak, badannya masih hangat pak!” Ibuku tak mau menyerah meyakinkan dokter.
“Maafkan kami bu.”
Beberapa perawat disana mencabuti semua peralatan yang melekat pada tubuh anakku. Tidak ada harapan lagi. Aku memeluk tubuhnya dan kupandangi wajahnya untuk terakhir kalinya. Sejenak kulihat air mata mengalir dari sudut matanya.
“Selamat jalan nak!” Batinku berusaha tegar.
Sehari setelah pemakaman aku kembali mengunjungi tempat peristirahatan terakhir anakku. Derai air mata masih tak kuasa kutahan. Luka mendalam sudah pasti. Terlebih lagi semasa hidup aku sering memarahinya. Dia, anak gadisku, anak keduaku. Usianya memang tak panjang. 11 tahun aku bersamanya. Dan belakangan disisa hidupnya Allah menitipkan hidayah melalui anakku. Dan kini aku, suamiku, si sulung dan si bungsu duduk bersimpuh mengitari nisannya. Diakhir doa yang kami panjatkan, masih dengan derai tangis yang tak terbendung akhirnya kukatakan juga.
“Jenny, maafin ibuk ya.! Sekarang ibu pakai jilbab lho..”
“Jenny, maafin ibuk ya.! Sekarang ibu pakai jilbab lho..”
*) kisah nyata. Semoga menjadi inspirasi bagi sahabat muslimah.
Banyak yang bilang, menunggu hidayah datang baru berhijab. Padahal nyatanya, hidayah itu telah ada namun kehadirannya tertutup oleh mata hati kita yang tak kunjung mau kita buka.
sumber : hijab syari
Comments
Post a Comment