Dalam menuntut ilmu agama, telah kita ketahui bahwa para ulama tidak main-main atau tenggelam dalam kemalasan. Usaha yang mereka lakukan begitu bermanfaat bagi generasi terdahulu hingga kini. Di antara para ulama lainnya yang bisa kita teladani usahanya dalam belajar agama adalah sebagai berikut:
Kemiskinan tidak menjadi penghalang belajar. Sedikitnya bekal tidak menghalangi perjalanan. Itu pula yang terjadi pada Sufyan ats-Tsaury (ulama generasi tabi’ tabi’in) rahimahullah. Ia menjadi tokoh bangsa Arab. Seorang fakih dan ahli hadits. Digelari dengan amirul mukmin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam masalah hadits) tentu menggambarkan betapa tinggi kedudukannya.
Sufyan berkisah, “Saat aku mulai belajar, aku mengadu (kepada Allah), ‘Ya Rabb, aku harus memiliki penghasilan. Sementara ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah aku bekerja mencari penghasilan saja? Aku memohon kepada Allah kecukupan’.
Sufyan ats-Taury adalah seorang yang miskin dan belajar butuh modal. Fokus belajar, membuatnya tidak punya harta untuk belajar. Tapi jika belajar sambil bekerja, ilmu yang didapatkan hanya setengah-setengah, tidak optimal. Kemudian Allah ﷻ memberikan jalan keluar dan mengabulkan doanya. Doa tulus untuk mempelajari agama-Nya. Ibunya berjanji menanggung keperluannya belajar. “Wahai anakku, belajarlah! Aku yang akan mencukupkanmu dari hasil usaha tenunanku ini”, kata ibunya (Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya. 6/370).
Dengan usaha menenun, ibunya membelikan buku dan mencukupi kebutuhannya dalam belajar. Tidak hanya mendanai Sufyan, ibunya juga selalu memberi semangat dan menasihatinya agar terus giat memperoleh ilmu. Ibunya mengatakan, “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, perhatikan… apakah ada pada dirimu perasaan semakin takut (kepada Allah), semakin lembut, dan semakin tenang. Jika engkau tidak merasakannya, ketahuilah apa yang kau pelajari memudharatkanmu. Tidak bermanfaat untukmu.” (Ibnul Jauzi dalam Sifatu Shafwah, 3/189).
Nasihat ibu Sufyan juga sangat layak kita jadikan renungan. Introspeksi diri yang mungkin jarang kita lakukan. Sudahkah ibadah kita makin giat, akhlak semakin baik, dan rasa takut serta tawakal kepada Allah kian kuat, setelah kita belajar?
Ibu Sufyan menjadikan 10 huruf, hanya 10 huruf, untuk introspeksi sejauh mana pengaruh ilmu untuk dirinya.
Dengan lantaran ibunya, Sufyan ats-Tsaury menjadi Sufyan ats-Tsaury yang kita tahu. Seorang pemimpin dalam ilmu dan imam dalam agama.
Jabir bin Abdillah
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki semangat luar biasa dalam mempelajari agama. Ia dan ulama-ulama lainnya tidak mencukupkan diri belajar di negerinya sendiri. Mereka bersafar, melangkahi jalan-jalan, menghilangkan ketidak-tahuan.
Kisah perjalanan mereka ini seperti dongeng. Karena mereka berjalan bermi-mil hanya untuk sesuatu yang menurut sebagian orang adalah kecil. Tantangan mereka pun berat dan fasilitas mereka tidaklah hebat. Perjalanan pun tetap berlangsung.
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu melakukan perjalanan sebulan menuju Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu, hanya untuk satu hadits. Jabir bercerita, “Aku mendengar ada satu hadits yang diriwayatkan oleh seorang dari sahabat Rasulullah ﷺ. Lalu aku membeli seekor onta, dan kuikat bekalku sebulan pada onta itu. Tibalah aku di Syam. Ternyata sahabat tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintunya, ‘Katakan kepadanya, Jabir sedang di pintu’. Dia bertanya, ‘Jabir bin Abdillah?’ Aku menjawab, ‘Ya’.
Lalu Abdullah bin Unais keluar dan dia merangkulku, aku berkata, ‘Sebuah hadits, aku mendengarnya ada padamu, kamu mendengarnya dari Rasulullah ﷺ, aku khawatir mati atau kamu telah mati sementara aku belum mendengarnya. Lalu ia menyebutkan hadits tersebut…” (Riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 970, Ahmad 16085, dan al-Hakim 3638).
Setelah mendangar hadits tersebut, Jabir langsung pulang, kembali ke Madinah. Tidak ada motivasi lain bagi dirinya, berangkat menuju Syam kecuali satu hadits tersebut.
Abu Ayyub al-Anshari
Abu Ayyub al-Anshari pernah bersafar dari Madinah ke Mesir. Untuk menemui Uqbah bin Amir al-Juhni. Ia ingin meriwayatkan satu hadits darinya. Sesampainya di Mesir, bertemu Uqbah dan mendengar haditsnya, ia langsung kembali ke Madinah (Riwayat Ahmad 17490, Abdurrazzaq 18936, Ibnu Abi Syaibah 13729).
Asad bin Furat
Asad bin Furat rahimahullah adalah seorang ahli fikih madzhab maliki. Ialah yang membukukan madzhab Imam Malikrahimahullah. Asad adalah hakim di Qairawan. Ia juga seorang mujahid. Turut serta membebaskan wilayah Sicilia di Italy pada tahun 213 H. Asad bercerita tentang perjalanannya belajar agama:
Ia pergi ke Madinah, belajar kepada Imam Malik. Lalu menuju Irak dan belajar dari murid-muridnya Imam Abu Hanifah. Di Irak pula ia belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Ribuan orang hadir di majelis Muhammad bin Hasan, sulit bagi Asad untuk bertanya sesuatu yang ia inginkan. Akhirnya ia bisa menyampaikan uneg-unegnya kepada Muhammad bin Hasan. “Aku adalah orang asing (bukan orang Irak) yang sedikit bekalnya. Mendengar ucapanmu (di majelis) sangat sulit karena padatnya jamaah. Dan orang-orang yang belajar denganmu banyak. Adakah solusi untukku?”
Muhammad bin Hasan rahimahullah menjawab, “Dengarkanlah bersama orang-orang Irak di siang hari. Malam harinya kukhususkan untukmu saja. Menginaplah di tempatku. Aku akan memperdengarkanmu (ilmu).”
Asad bin Furat mengatakan, “Aku pun menginap di rumahnya. Kuletakkan di hadapanku suatu wadah yang berisi air. Mulailah aku belajar. Apabila malam larut, dan aku merasakan kantuk, kubasahi tanganku dan kuusapkan di wajahku, aku pun segar kembali. Itulah caranya dan caraku. Sampai akhirnya aku merasa puas mendengarkan ilmu darinya.”
Perhatikanlah kesungguhan dua ulama ini. Bagaimana Muhammad bin Hasan meluangkan waktunya siang dan malam untuk mengajar. Dan ia khususkan malam untuk Asad bin Furat. Mengapa? Karena ia tahu, melalui Asad ilmu yang ia miliki akan tersebar ke negeri yang tidak mampu ia jangkau.
Lihat pula kesungguhan Asad bin Furat rahimahullah, ia tidak merasa cukup belajar dari ulama sekelas Imam Malikrahimahullah. Padahal apa yang dia dapat dari Imam Malik sangat banyak. Ia tetap merasa haus dan lapar akan ilmu agama. Sehingga senantiasa mempelajarinya selama masih bernyawa.
Diriwayatkan oleh ad-Darimi dengan sanad yang shahih, mursal dari Thawus bin Kaisan rahimahullah, ia berkata, “Rasulullah ﷺ pernah ditanya, ‘Wahai Rasulllah, siapa orang yang paling berilmu?’ Beliau ﷺ menjawab, ‘Orang yang mengumpulkan ilmu banyak orang menjadi ilmunya. Setiap pelajar ilmu agama adalah ghartsanu (orang yang lapar, tidak merasa cukup) terhadap ilmu.” (HR. Ad-Darimi, Husain Silmi seorang muhaqqiq Sunan ad-Darimi berkata, “Sanadnya shahih”.).
Imam al-Bukhari
Al-Bukhari rahimahullah terbangun dalam satu malam. Kemudian ia menghidupkan lenteranya. Ia menulis pelajaran. Kemudian ia padamkan lenteranya. Lalu terbangun lagi, lagi, dan lagi. Hingga hampir 20 kali (Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/25).
Imam an-Nawawi
Imam an-Nawawi rahimahullah bercerita tentang dirinya, “Pernah selama dua tahun aku tidak pernah membaringkan punggungku di bumi (lantai). Apabila rasa kantuk menghampiriku, aku tersandar pada buku-buku sesaat, kemudian bangun kembali.” (Ibnu Qadhi Syubhah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyah).
Beliau tidak pernah tidur berbaring selama dua tahun. Duduk menelaah buku-buku, lalu tertidur dan segera bangun kembali. Untuk apa beliau lakukan itu? Untuk ilmu yang berharga, warisan Nabi ﷺ, ilmu agama.
Fakhruddin Muhammad as-Sa’ati
Fakhruddin Muhammad adalah seorang ilmuan kedokteran dalam sejarah Islam. Ia menceritakan bagaimana ia mempelajari ilmu kedokteran dengan mengatakan, “Kaumku hasad kepadaku atas apa yang telah kuperbuat. Karena antara aku dan mereka adalah tempat tidur. Aku bergadang di malam hari. Sementara mereka terkantuk-kantuk. Tentu tidak sama antara orang yang belajar dan yang ngantuk.” (Ibnu Abi Ushaibi’ah dalam Uyunul Anba fi Thabaqat al-Atibba, 4/162).
Imam Ahmad
Imam Ahmad bercerita tentang masa kecilnya, “Aku berangkat pagi-pagi untuk hadits”, yakni beliau keluar dari rumahnya di saat pagi untuk mencari tempat duduk yang nyaman untuknya saat belajar hadits. “Ibuku menyimpan pakaianku hingga saat adzan subuh (berkumandang).” (adz-Dzahabi dalam Siyar Alamin Nubala).
Imam Ahmad di masa kecilnya telah menyiapkan diri untuk belajar hadits sebelum datangnya waktu subuh. Tapi ibunya takut kalau anaknya keluar sebelum waktu subuh tiba. Karenanya, bajunya baru ia berikan setelah adzan subuh berkumandang.
<<sebelumnya 1, 2
Comments
Post a Comment